Luka tak lagi Ditanggung Sendiri: PP Prabowo Bawa Napas Baru untuk Korban Kekerasan Seksual

Ilustrasi bantuan korban kekerasan seksual. (Foto: dok Makkunrai)

Makassar – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), pada 18 Juni 2025. Langkah ini menjadi penanda kehadiran negara dalam memastikan pemulihan korban kekerasan seksual, khususnya saat pelaku tidak mampu membayar restitusi.

PP ini merupakan turunan langsung dari Pasal 35 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Intinya, negara tidak boleh tinggal diam. Korban harus mendapat bantuan nyata, bukan hanya simpati. Negara wajib menjamin pemulihan korban dari sisi medis, psikologis, hingga sosial.

Kebijakan ini disambut baik oleh para aktivis perempuan, termasuk Lusia Palulungan, Program Manager Inklusi BaKTI asal Sulawesi Selatan. Baginya, PP ini bukan sekadar aturan administratif, melainkan bentuk pengakuan negara terhadap luka para penyintas.

“Ini yang kita tunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Akhirnya negara mengakui bahwa korban tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian,” tutur Lusia, yang telah lebih dari satu dekade mendampingi perempuan korban kekerasan seksual di wilayah Indonesia Timur.

Menurut Lusia, banyak korban yang harus menjalani proses pemulihan bertahun-tahun. Mulai dari kerusakan organ reproduksi, trauma mendalam, hingga kehilangan akses pendidikan dan pekerjaan.

“Mereka sudah jadi korban. Jangan sampai mereka juga yang harus menanggung semua beban,” tegasnya.

Dana bantuan yang diatur dalam PP ini akan dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini akan menghitung besar kecilnya kompensasi sesuai kerugian korban, sekaligus menyalurkan bantuan pemulihan sesuai kebutuhan.

“Kadang yang dibutuhkan bukan cuma uang. Tapi pendampingan psikologis yang konsisten. Konseling, rehabilitasi, dukungan hukum. Semua itu butuh biaya. Dan selama ini korban seringkali tidak punya akses,” tambah Lusia.

Tokoh perempuan Sulawesi Selatan yang juga pemerhati perempuan dan HAM, Luna Vidia, menyebut terbitnya PP Nomor 29 Tahun 2025 sebagai sinyal politik kuat dari Presiden Prabowo Subianto bahwa perlindungan terhadap korban kekerasan seksual adalah prioritas negara.

“Ini bukan janji, tapi tindakan konkret. Negara menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh setengah-setengah. Hukuman untuk pelaku harus diiringi dengan pemulihan total bagi korban,” ujar Luna.

Luna menyoroti pentingnya prinsip due diligence atau kehati-hatian menyeluruh dalam menangani kasus kekerasan seksual. Mulai dari pencegahan, proses hukum, hingga pasca-putusan. Menurutnya, PP ini bisa menjadi standar baru perlindungan korban jika dijalankan secara serius.

Namun ia juga mengingatkan, implementasi peraturan ini tidak akan berjalan mulus tanpa dukungan semua pihak.

“PP ini ada, tapi bagaimana pelaksanaannya di lapangan? Di pelosok? Di desa-desa? Itu pekerjaan rumah kita bersama,” tegasnya.

Salah satu poin penting dari PP ini adalah tanggung jawab negara untuk tetap menagih ganti rugi kepada pelaku, jika di kemudian hari mampu. Negara tidak hanya membantu korban, tetapi juga tidak melepaskan tanggung jawab hukum dari pelaku.

Lebih dari itu, PP ini juga menjamin kerahasiaan identitas korban dan saksi, yang kerap menjadi hambatan utama bagi korban untuk melapor. Luna menekankan, perlindungan identitas adalah kunci untuk menghapus stigma dan rasa takut dari korban.

Dalam konteks daerah seperti Sulawesi Selatan, kebijakan ini menjadi sangat relevan. Banyak korban di pelosok kesulitan mengakses layanan pemulihan. Biaya transportasi, minimnya tenaga profesional, serta stigma sosial menjadi tembok besar yang sulit ditembus.

Lusia dan Luna sama-sama berharap, dengan ditekennya PP ini oleh Presiden Prabowo, semangat perlindungan korban tidak berhenti di atas kertas.

Mereka ingin melihat negara turun tangan hingga ke level paling bawah, memastikan bahwa tidak ada lagi korban yang dibiarkan sembuh sendiri.

“Ini langkah besar. Tapi langkah selanjutnya akan menentukan apakah kita benar-benar berpihak pada korban, atau hanya sekadar ingin terlihat peduli,” pungkas Lusia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top