Susul Putusan PP Dana Bantuan TPKS, Pendamping Ungkap Kondisi Miris Penanganan Korban di Sulsel

BPJS tak Cover Biaya Medis Korban TPKS

Ilustrasi penanganan TPKS. Pict: makkunrai.com

PENULIS: AL FATH

Makassar — Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada 18 Juni 2025 resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Peraturan ini menjadi penanda kehadiran negara dalam memastikan pemulihan korban kekerasan seksual, khususnya saat pelaku justru tidak membayar restitusi.

PP ini muncul seperti angin segar, sebab kenyataannya, selama ini di lapangan menunjukkan bahwa pemenuhan hak korban—terutama perempuan dan anak—masih sangat jauh dari kata mudah. Prosedur yang rumit, minimnya pemahaman aparat, dan tidak adanya skema pembiayaan darurat, membuat korban harus bertarung dua kali: melawan luka, dan mencari bantuan yang dijanjikan negara.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Selatan, Andi Mirna, menegaskan selama ini pihaknya aktif menangani setiap laporan kekerasan yang masuk. Namun, Ia mengungkapkan bahwa pelayanan kesehatan menjadi salah satu titik paling lemah.

“Kalau ada pengaduan kita tangani, kita juga menangani dengan mendatangi korban, asesmen korban, kalau butuh trauma healing kita simpan di rumah aman, sampai korban hilang traumanya tapi tidak mungkin korban hilang traumanya 100 persen tapi paling tidak dia sudah bisa beraktivitas.”

“Termasuk pendampingan hukum, kalau ada luka fisik kita dampingi di rumah sakit sampai betul betul sembuh,” ujar Mirna.

Selain mendampingi korban secara hukum dan psikologis, DP3A juga mengawal korban yang membutuhkan perawatan medis. Tapi dukungan ini kerap terhambat karena pendampingan pada korban kekerasan seksual tidak tercover BPJS Kesehatan.

Mirna menegaskan, hingga saat ini, cover BPJS Kesehatan memang menjadi kendala dalam pendampingan.

“Ini yang menjadi salah satu kendala kita, baik di pusat, maupun daerah karena tidak ada biaya penanganan kalau mereka untuk kesehatan. Misalnya korban pemerkosaan mau dioperasi mau diapa, itu biasanya rumah sakit yang bantu juga kita, dan faktanta korban kekerasan memang tidak diklaim BPJS,” tambah Mirna.

Restitusi dan Dana Bantuan: Hak Korban yang Terhambat Akses

Sekretaris Yayasan Pemerhati Perempuan Sulsel, Lita Karen, meluruskan adanya PP yang disahkan oleh Presiden Prabowo pada dasarnya bukanlah program dari presiden, melainkan amanat undang-undang yang berlaku sejak sebelum pemerintahannya.

“Saya mau luruskan ini bukan programnya Pak Prabowo tapi UU TPKS sudah mengatur kalau semua korban TPKS punya hak mendapatkan restitusi, untuk mengganti segala kerugian yang ditimbulkan akibat kekerasan seksual itu. Apabila pelaku TPKS tidak bisa mengganti maka menjadi tanggung jawab negara, itu bahasanya UU.”

“Kalau di UU Pidana, restitusi jadi kewajiban pelaku, sedangkan UU TPKS menuliskan restitusi menjadi tanggung jawab pelaku dan apabila pelaku tidak bisa memenuhi semua biaya yang ditimbulkan dari kekerasan seksual ini,” lanjutnya.

Dalam alur yang seharusnya berjalan, korban melapor ke polisi, lalu polisi menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan LPSK akan menghitung nilai kerugian korban. Namun proses ini belum sepenuhnya dipahami dan dijalankan di tingkat daerah.

“Maka negara yang akan menjamin, dana itu dititipkan di LPSK. Jadi saat ada korban TPKS dan dia melapor ke polisi maka polisi akan menghubungi LPSK dan LPSK akan menghitung kerugian yang ditimbulkan dari itu. Kemudian BPJS memang tidak menanggung biaya akibat beberapa hal apalagi sifatnya untuk diri sendiri dan tercover oleh pembiayaan lain. Jadi bukan tidak mau menanggung tapi sudah ada yang lain menanggung, hampir sama dengan kecelakaan dengan adanya Jasa Raharja.”

Sayangnya, meskipun skema restitusi sudah jelas, akses di lapangan tetap menjadi persoalan.

“Memang ini kadang-kadang membuat kita setengah mati untuk membantu korban-korban seperti ini. BPJS tidak menanggung karena sudah tercover, tapi pada prakteknya ini memang sangat kesulitan.”

Kisah Jeneponto: Ketika Bayi Jadi Korban, Negara Justru Tidak Siap

Fakta penanganan yang memilukan salah satunya datang dari Jeneponto, Sulawesi Selatan. Seorang bayi berusia tiga bulan menjadi korban kekerasan seksual oleh keluarganya sendiri. Luka parah yang dideritanya tak bisa ditanggung oleh BPJS.

“Korban tidak bisa mengakses langsung LPSK sementara korban harus dilarikan ke rumah sakit. Misalnya korban yang kami dampingi di Jeneponto, bayi umur 2–3 bulan sekian, sudah mendapatkan kekerasan seksual dari keluarganya. Penis dipaksakan masuk vagina sehingga vagina rusak. Itu tidak tercover dari BPJS, sehingga teman-teman dari DP3A yang kemudian melakukan strategi sehingga bisa dicover.”

Kasus serupa juga menimpa perempuan korban yang kandungannya rusak, namun tidak mendapatkan perawatan intensif karena tidak ada kejelasan pembiayaan.

“Ada juga kasus perempuan yang kandungannya rusak dan harus mendapatkan perawatan intensif. Itu tidak bisa dilakukan BPJS. Jadi tantangan juga bagi teman-teman pendamping jika membawa korban-korban ini ke rumah sakit, karena belum tahu atau belum jelas siapa yang membiayai ini.”

Negara Wajib Proaktif, Bukan Hanya di Atas Kertas

Dengan disahkannya PP Dana Bantuan TPKS, harapannya negara tidak hanya hadir dalam bentuk aturan, tetapi juga menjamin pelaksanaan hak-hak korban sampai ke level paling dasar: rumah sakit, ruang pengaduan, rumah aman, hingga meja visum.

“Bantuan ini bagus meskipun tidak di wilayahnya DP3A, tapi mereka wajib membantu. Pada saat UU sudah jadi PP, teman-teman OPD harus proaktif, tidak sebatas menunggu,”Lita Karen

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top