Laporkan Kasus Pemerkosaan, MML Justru Dilecehkan Ulang oleh Polisi

MML (25), seorang perempuan penyintas pemerkosaan di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, memilih langkah berani. Dalam kondisi trauma, ia mendatangi kantor polisi untuk mencari keadilan. Namun, bukan perlindungan yang ia dapat, di ruang yang seharusnya menjadi tempat aman, ia kembali menjadi korban.
Malam itu, 2 Maret 2025. MML, mengumpulkan keberanian yang tidak sedikit. Ia melangkahkan kaki menuju Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya hanya satu: melaporkan bahwa ia baru saja menjadi korban pemerkosaan di desanya, Mandungo.
Namun yang terjadi kemudian justru mengguncang rasa keadilan dan kepercayaan publik terhadap aparat. Dalam ruang pemeriksaan yang semestinya menjadi tempat perlindungan, MML diduga kembali menjadi korban — kali ini oleh aparat yang seharusnya melindunginya.
Pemeriksa yang berinisial Aipda PS, malah melakukan tindakan tak pantas. Dugaan pelecehan seksual itu tak hanya menambah luka, tapi memperpanjang trauma.
Dikutip dari laman Metro Siang, Korban sempat diarahkan Aipda PS untuk melapor ke Polres karena unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tidak tersedia di Polsek.
Namun keesokan harinya, saat dijemput kembali untuk dimintai keterangan tambahan, korban justru dilecehkan di ruang pemeriksaan. MML bahkan diduga dilarang untuk menceritakan kejadian ini kepada siapa pun.
Meski Aipda PS, kini telah ditahan oleh Seksi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polres Sumba Barat Daya, namun angkah berani MML membongkar ulang trauma yang dialaminya membuka mata banyak pihak. Suara korban yang selama ini dibungkam, kini menggema. Kasus ini jadi alarm keras betapa ruang hukum belum sepenuhnya aman bagi perempuan.
Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Haryanto Rante Salu, membenarkan kejadian ini. Ia menyampaikan permintaan maaf atas kasus yang mencoreng institusi kepolisian dan mengonfirmasi bahwa Aipda PS tengah menjalani penahanan khusus selama 30 hari oleh Propam.
“Kami mohon maaf atas kejadian yang membuat kegaduhan dan ketidaknyamanan di media sosial,” ujar Haryanto, dikutip dari Metro Siang, Rabu (11/6/2025).
#SaatnyaPenyintasBersuara
Kasus MML menggugah kesadaran baru. Sudah saatnya penyintas tidak lagi dipaksa diam. Saatnya korban mendapat ruang aman untuk bicara — dan sistem hukum dituntut untuk berubah, bukan sekadar minta maaf.
Kasus ini tak akan pernah terdengar andai MML tak bersuara di media sosial. Pada Kamis, 5 Juni 2025, sebuah unggahan Facebook dari akun anonim menyebar cepat. Isinya menyebutkan bahwa korban pemerkosaan mengalami pelecehan di kantor polisi oleh aparat saat melapor. Postingan ini memantik kemarahan publik.
Sayangnya, suara korban baru mendapat tanggapan setelah viral. Institusi yang seharusnya menjadi garda pertama perlindungan justru beroperasi berdasarkan tekanan publik, bukan kesadaran etis.