Cerita Perempuan Sipil: Patuhi Prosedur Hukum, Malah Dipingpong Komunikasi Tak Berujung

Ilustrasi perempuan perjuangkan keadilan hukum. (Foto: dok Makkunrai)

Rasa lelah dan kecewa menyelimuti drg. Nilam, seorang perempuan sipil yang juga pemilik salah satu klinik gigi ternama di Makassar. Sudah tiga bulan lamanya ia berupaya menuntut keadilan setelah menjadi korban kecelakaan lalu lintas, namun proses hukum yang ia tempuh justru berujung pada kebuntuan dan komunikasi yang berputar-putar.

“Dari bulan tiga sampai bulan enam, semua jalurnya kami ikuti. Semua prosedur kepolisian kami penuhi,” ujar drg. Nilam. Namun, alih-alih mendapat kepastian hukum, ia hanya menerima jawaban seragam setiap kali mengonfirmasi ke pihak berwajib: “Iye, kita tunggu info selanjutnya.”

Menurut pengakuannya, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai tindak lanjut dari kasus yang menimpanya. Bahkan, surat pemanggilan terhadap tersangka yang sudah diterbitkan tak membuahkan hasil.

“Kami sudah BAP sampai jam 3 subuh. Oke, tak ada masalah, kami ikuti. Tapi sekarang saya merasa itu hanya formalitas,” ucapnya dengan nada getir sambil mengingat-ingat kejadian 3 bulan lalu, tepatnya 27 Maret 2025.

Kasus ini bermula dari kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kerusakan pada mobil milik drg. Nilam. Kendati sudah melaporkan dan menyerahkan bukti-bukti kepada pihak kepolisian, progres penyidikan seolah berjalan di tempat. Keadaan bertambah rumit saat ia mendapati kerusakan baru pada bagian belakang mobilnya.

“Awalnya kerusakan mobil hanya berada di beberapa titik akibat kecelakaan yang dialami. Tapi saat saya kunjungi lagi, kaca bagian belakang sudah hancur,” ungkapnya. Ketika dikonfirmasi ke Unit Lakalantas di Jalan Kartini, Makassar, ia diberi penjelasan bahwa kerusakan disebabkan oleh jatuhan ranting atau buah sukun.

Mobil yang diduga tertimpa ranting/buah sukun. (Foto: dok Makkunrai)

Pihak kepolisian berjanji akan menanggung perbaikan kerusakan tersebut. “Alhamdulillah sudah dikasih informasi oleh Pak Kanit, katanya kaca yang pecah itu akan diganti oleh pihak Lakalantas,” tutur drg. Nilam. Namun ia menegaskan bahwa hal itu tidak serta-merta menghapus tanggung jawab pelaku utama yang menabraknya.

“Bukan berarti karena mobil ini diperbaiki Lakalantas, lalu gugur kewajiban hukum dari si penabrak. Oh tidak bisa begitu,” tegasnya. Ia menuntut agar proses hukum tetap ditegakkan, dan pelaku mendapat konsekuensi sesuai aturan yang berlaku.

Kasus ini menggambarkan dilema warga sipil yang mengikuti prosedur hukum namun justru terjebak dalam birokrasi tanpa ujung. drg. Nilam berharap kisahnya menjadi perhatian agar aparat penegak hukum tidak abai terhadap korban yang berupaya mencari keadilan secara sah.

“Saya hanya ingin proses ini berjalan sebagaimana mestinya. Kalau semua sudah kami penuhi, ya seharusnya ada hasil,” terang drg. Nilam. Ia menyerukan agar pihak kepolisian lebih terbuka, tanggap, dan akuntabel dalam menangani laporan masyarakat.

Kronologi: Ditabrak dari Belakang, Janji Pelaku Tinggal Janji

Kronologi kecelakaan yang menimpa drg. Nilam terjadi pada suatu sore yang padat di Jalan Veteran, Makassar. Saat itu, sekitar pukul 14.00 hingga 15.00 WITA, arus lalu lintas sedang macet, terutama di titik antara Sungai Saddang dan belokan kanan. Mobil yang ditumpangi drg. Nilam bersama suaminya berada dalam posisi berhenti total, nyaris tidak bisa bergerak.

“Tiba-tiba dari arah belakang, mobil kami dihantam keras oleh sebuah mobil Brio merah,” tutur drg. Nilam. Mobil yang menabrak itu dikendarai oleh seorang perempuan berinisial RN. Benturan tersebut cukup kuat hingga mengguncang seluruh bagian mobil drg. Nilam dan menimbulkan kerusakan dibagian belakang.

Pasca-kejadian, drg. Nilam dan suaminya secara baik-baik meminta pertanggungjawaban dari RN. Menurut pengakuannya, RN saat itu dengan percaya diri menyatakan sanggup bertanggung jawab atas seluruh kerusakan.

“Ia bilang, ‘Saya mampu bertanggung jawab.’ Jadi kami bersama-sama ke dealer untuk menghitung taksasi kerusakan,” jelasnya.

Di dealer, taksasi kerusakan mobil mencapai kisaran Rp 16 juta hingga Rp 17 juta. Namun setelah jumlah itu keluar, sikap RN berubah drastis. Ia panik dan menyatakan tidak mampu membayar. Dari situ, terkuak fakta lain: mobil yang dikendarai RN ternyata bukan milik pribadinya.

“Ia awalnya mengaku mobil itu miliknya. Tapi ternyata itu mobil rental, yang masih diangsur lewat leasing,” ujar drg. Nilam. Karena tidak bisa memenuhi kewajibannya, RN kemudian menawarkan agar mobil Brio merah itu diambil saja sebagai bentuk pertanggungjawaban. Sikap ini membuat pasangan korban merasa bingung dan akhirnya memilih jalur resmi.

drg. Nilam (baju pink) dan keluarga mendesak kepolisian untuk percepat proses penyidikan. (Foto: dok. Makkunrai)

Malam itu juga, drg. Nilam dan suaminya membawa mobil RN ke Unit Lakalantas Jalan Kartini untuk mencari solusi hukum. Di sana, mereka dimediasi oleh seorang polisi bernama Pak Martinus. Dalam pertemuan tersebut, tercapailah kesepakatan bahwa RN akan membayar ganti rugi secara mencicil.

“Saat itu, suami saya masih berbaik hati memberikan kebijakan agar bisa mencicil. Tapi setelah itu, RN menghilang,” kata drg. Nilam. Tidak ada kabar lanjutan, tidak ada cicilan yang dibayarkan, dan tidak ada komunikasi yang dibuka dari pihak RN sejak saat itu.

Yang lebih menyakitkan, setelah dilacak, RN ternyata sempat kembali ke Makassar dan bahkan terpantau berkumpul sambil minum-minum dan bermain kartu di sebuah kafe jalan Landak Baru.

“Kami tahu informasi ini, tapi anehnya pihak Lakalantas tidak mengetahui hal tersebut,” ujarnya kecewa.

Kejadian ini menyisakan ironi bagi perempuan sipil seperti drg. Nilam. Sudah menjadi korban, mengikuti seluruh prosedur hukum, namun justru harus menghadapi ketidakjelasan, komunikasi yang buntu, dan pelaku yang menghilang tanpa tanggung jawab dan masih berkeliaran bebas.

“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap hukum habis karena kasus seperti ini,” beber drg. Nilam.

Menunggu Kejelasan dari Lambannya Pergerakan Hukum

drg. Nilam mengaku sangat dirugikan akibat kecelakaan tersebut, bukan hanya secara materi, tetapi juga secara emosional, waktu, dan pekerjaan.

“Saya ini punya tanggung jawab besar di klinik. Waktu saya habis untuk mengurus kasus ini. Belum lagi tekanan mental yang kami alami karena merasa dipingpong dan diabaikan,” ujarnya dengan nada kecewa.

Ia mengungkapkan, selama ini tidak pernah mengangkat kasus ini ke media karena masih percaya terhadap proses hukum yang dijalankan oleh pihak kepolisian. Namun, setelah tiga bulan berlalu tanpa hasil, kepercayaan itu mulai terkikis.

“Kami diam bukan berarti kami lemah. Kami percaya proses hukum, makanya kami ikuti semua jalurnya. Tapi nyatanya sampai sekarang tidak ada tindak lanjut,” tambahnya.

Kekecewaan drg. Nilam semakin memuncak karena pelaku RN masih berkeliaran bebas, sementara pihak kepolisian belum menunjukkan upaya nyata untuk menindaklanjuti.

“Masa kami yang korban harus terus menunggu, dan mencari sendiri informasi atas kasus yang kami laporkan ke pihak berwajib. sementara pelaku dengan santainya beraktivitas? Kami ini ikut prosedur, loh” ucapnya.

Ia juga mempertanyakan bagaimana nasib warga sipil lainnya yang mungkin mengalami kasus serupa. “Kalau seperti saya saja bisa diabaikan, bagaimana dengan warga kecil yang tak punya akses atau suara? Jangan sampai pihak kepolisian baru bergerak kalau sudah didesak terus-menerus. Di mana kerja-kerja kepolisian yang sebenarnya?” katanya lantang.

“Saya ini korban, seharusnya saya mendapat perlindungan hukum. Harusnya gerak polisi itu cepat, bukan lamban seperti ini. Kasus ini jadi tamparan bahwa sistem kita harus dibenahi, apalagi dalam hal melindungi hak korban,” terang drg. Nilam.

Perempuan Harus Berani, Jangan Diam Saat Jadi Korban Hukum

drg. Nilam (Foto: dok Makkunrai)

Di tengah rasa kecewa terhadap lambannya penanganan hukum, drg. Nilam justru menguatkan tekad untuk bersuara. Ia menolak anggapan bahwa perempuan harus tunduk dalam situasi seperti ini.

“Katanya kami perempuan lemah, tapi untuk urusan begini kami harus perjuangkan. Kami harus berani,” ujarnya penuh semangat.

Ia menyadari bahwa berhadapan dengan sistem dan aturan kepolisian bukan perkara mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilalui. “Kami perempuan juga mampu menghadapi banyak hal, termasuk prosedur hukum yang panjang. Jangan takut, karena banyak orang yang akan mendukungmu,” tambahnya.

Pengalaman pahit yang dialaminya dijadikan pelajaran dan pesan bagi perempuan lain agar tidak diam saat menjadi korban. drg. Nilam menyerukan agar perempuan bersikap sigap dalam situasi serupa, khususnya saat mengalami kecelakaan lalu lintas.

“Segera laporkan ke kepolisian dalam waktu 1×24 jam. Itu penting agar proses bisa segera berjalan,” katanya.

Dengan menyuarakan pengalamannya, drg. Nilam berharap tidak ada lagi korban, khususnya perempuan yang merasa sendirian saat mencari keadilan. Ia meyakini bahwa keberanian berbicara adalah langkah awal untuk perubahan sistem yang lebih adil.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top