Di Balik Tren Fotografi Lari, Ada Privasi dan KBGO yang Mengintai

Ilustrasi pelari dan fotografer. (Foto: dok Makkunrai)

Tren olahraga lari di ruang publik kian menjamur di Kota Makassar. Beberapa area favorit pelari, seperti Center Point of Indonesia (CPI) dan sepanjang Jalan Pettarani, hampir selalu dipadati warga yang berolahraga, terutama di akhir pekan.

Seiring dengan itu, kehadiran fotografer yang membidik momen para pelari juga menjadi fenomena baru. Foto-foto hasil jepretan tersebut diunggah ke platform digital seperti FotoYu, aplikasi yang kini ramai digunakan untuk mencari dokumentasi momen olahraga.

Hampir di setiap event lari, para fotografer andal selalu standby di berbagai titik strategis. Mereka mengabadikan beragam pose berlari, dari yang spontan hingga ekspresi penuh semangat para pelari.

Bagi sebagian warga, keberadaan fotografer ini menjadi bagian dari keseruan berolahraga. Namun, bagi sebagian lainnya, muncul keresahan soal batas etika dan privasi yang perlu dikaji mendalam.

Seorang pelari perempuan yang tinggal di kabupaten Gowa, Chaerani Arief, berbagi pengalamannya tentang tren ini. Ia mengaku tidak pernah mempermasalahkan saat tiba-tiba dipotret saat berlari.

Menurutnya, di ruang publik memang tak ada kewajiban saling meminta izin. Setiap individu memanfaatkan ruang bersama, termasuk fotografer yang membidik momen olahraga.

Meski demikian, ia menegaskan pentingnya pemahaman etika bagi fotografer. Terlebih bagi fotografer pelari yang menyasar objek manusia.

Ia menilai fotografer perlu memiliki pemahaman feminis dalam mengambil gambar pelari. Hal ini demi menghargai tubuh dan kenyamanan subjek yang dipotret.

“Batasan objek foto itu penting agar tak melanggar privasi. Termasuk bertanggung jawab tidak menyebarkan foto tanpa persetujuan yang jelas,” katanya kepada Makkunrai.

Ia menambahkan, foto yang diambil sebaiknya dikelola dengan bijaksana. Termasuk menghapusnya jika memang tidak ada kesepakatan untuk dipublikasikan.

Begitu pula ketika hendak mengunggah foto ke media sosial atau aplikasi FotoYu. Menurutnya, sebaiknya tetap meminta izin kepada individu dalam foto tersebut.

“Jangan sampai ada sisi sensitif seseorang yang tersinggung atau keberatan. Foto bisa menjadi pemicu ketidaknyamanan jika tidak dikelola etis,” jelas Rani sapaannya.

Ia mengaku belum pernah mendapati fotonya beredar tanpa sepengetahuan. Namun jika itu terjadi, ia siap menuntut pertanggungjawaban sesuai aturan berlaku.

“Saya pasti akan ambil langkah jika sampai merugikan secara pribadi. Privasi dan hak atas tubuh adalah prinsip yang harus dihormati bersama,” jelasnya.

Rani juga menuturkan tidak pernah membeli atau meminta hasil jepretan fotografer. Biasanya ia hanya menyimpan foto yang diambil oleh panitia atau kenalan.

“Selama ini saya tidak pernah menggunakan platform penjual foto event lari. Saya merasa cukup dengan foto yang disediakan penyelenggara kegiatan,” bebernya.

Soal batas ruang publik dan privasi, ia menegaskan harus ada kejelasan. Ruang publik adalah hak semua, tapi kenyamanan tetap harus dijaga bersama.

Ia menilai, ruang olahraga publik harus ramah gender dan aman dari pelecehan. Termasuk dalam interaksi antara pelari dan fotografer di jalanan umum.

Jika ada pelari yang menolak difoto, sebaiknya permintaan itu dihargai penuh. Jangan sampai malah jadi bahan olok-olok atau stereotip yang merendahkan.

Ia berharap tren fotografi lari bisa tetap bermanfaat tanpa mengganggu pelari. Foto-foto sebaiknya tidak bersifat seksis atau menimbulkan pelecehan non-verbal.

“Foto harus dikelola pribadi, bukan dilempar ke media tanpa izin. Jika tak ada kesepakatan, sebaiknya foto dihapus demi menghormati hak individu,” tutur Rani.

Sementara itu, Irwan, pelari lainnya yang tinggal di Makassar, juga berbagi pandangan. Ia mengaku pernah merasa tak nyaman saat difoto tanpa sepengetahuan.

“Saat berkeringat atau tidak siap difoto, rasanya tidak enak,” katanya.

Irwan menilai fotografer sebaiknya memberi tahu sebelum memotret. Transparansi menjadi kunci.

Ia pernah menemukan fotonya diunggah di akun komunitas tanpa sepengetahuan. Awalnya ia tidak nyaman, namun kemudian memaklumi.

Menurut Irwan, pelari harus diberi tahu agar sadar dirinya sedang didokumentasikan. Namun, ia juga pernah membeli foto hasil jepretan karena dinilai bagus dan bermakna.

Irwan menilai membeli foto bisa jadi bentuk apresiasi bagi fotografer. Bagi Irwan, setiap individu tetap memiliki hak privasi. Tidak semua nyaman difoto di ruang publik.

Ia menegaskan, etika fotografer terhadap subjek harus dijaga. Dokumentasi harus transparan. Ia juga menyoroti keamanan data pada platform seperti FotoYu. Ia merasa ragu menyerahkan data biometrik.

Irwan memilih tak menggunakan FotoYu karena khawatir penyalahgunaan data. Foto bisa jadi kenangan, tapi juga ancaman privasi.

Selanjutnya, Fakra Rauf, pelari lainnya, justru menganggap kehadiran fotografer sebagai keseruan.

“Saya malah suka kalau ada foto saya saat lari. Bahkan saya cari di FotoYu,” katanya sembari tertawa.

Bagi Fakra, foto lari adalah dokumentasi yang tak bisa ia rekam sendiri. Ia bahkan tak ragu membeli jika hasilnya bagus.

Namun ia tetap menegaskan pentingnya etika dan batas privasi. “Kalau yang difoto suka, ya sah-sah saja,” ujarnya.

Fakra menyebut, banyak fotografer sudah menerapkan sistem take down untuk menghargai privasi.

Ia berharap tren fotografi lari tetap berjalan positif dan menghormati semua pihak.

“Intinya saling jaga dan saling menghargai,” pungkasnya.

Antara Privasi dan Peluang Bisnis

Masyudi, yang mengaku sejak lama menjadikan fotografi sebagai hobi, sekaligus peluang mendapatkan cuan melalui aplikasi FotoYu membagikan pengalamannya selama ini.

Bagi Masyudi, memotret pelari di ruang publik adalah cara untuk menyalurkan minat sambil mendokumentasikan momen olahraga yang sedang naik daun.

“Apalagi sekarang event lari makin ramai. Foto-fotonya bisa laku di aplikasi dan jadi kenangan buat para pelari,” ujarnya.

Menurutnya, kehadiran fotografer di tengah event olahraga seperti lari atau Car Free Day menjadi pelengkap atmosfer yang positif, asalkan dilakukan dengan cara yang etis.

Soal etika, Masyudi menegaskan bahwa ia sangat menghargai privasi orang. Ia bercerita, tidak jarang menemui pelari yang memberi kode menolak difoto, seperti menutup wajah, menghindar, atau menyampaikan secara lisan.

Jika itu terjadi, Masyudi langsung menurunkan kameranya dan bahkan bersedia menghapus foto jika diminta. “Intinya kita harus siap bertanggung jawab atas karya kita,” tegasnya.

Menurut Masyudi, meskipun hukum memperbolehkan pengambilan gambar di ruang publik, batasan privasi tetap ada.

Ia menilai, fotografer wajib menjaga etika agar tidak mengganggu kenyamanan subjek. Bagi Masyudi, ruang publik bukan berarti ruang bebas tanpa aturan.

Kini, fotografi lari dan olahraga telah berkembang menjadi peluang ekonomi. Selain menjual foto di aplikasi, ada pula permintaan untuk dokumentasi event resmi.

“Yang awalnya cuma hobi, bisa berkembang jadi profesi yang menjanjikan. Tapi tetap, etika dan kualitas harus dipegang,” pungkasnya.

Selanjutnya, Diwan, yang juga seorang Fotografer di Makassar menyampaikan bahwa ketertarikannya memotret pelari di jalanan bermula saat pandemi. Ketika tren berolahraga seperti lari dan bersepeda meningkat, ia terdorong untuk meliput fenomena tersebut dalam kapasitasnya sebagai fotografer jurnalistik.

Diwan mengaku bahwa aktivitas memotret pelari di ruang publik awalnya murni berangkat dari inisiatif pribadi, bukan semata-mata karena peluang bisnis. Hasil foto yang ia ambil pun lebih banyak digunakan untuk keperluan kantor, bukan untuk disebarluaskan ke media sosial atau dijual.

“Saya tidak meminta izin karena posisinya di ruang publik. Foto-foto itu hanya untuk kebutuhan kantor, kecuali ada yang minta dipublikasikan,” ujarnya.

Meski demikian, Diwan mengaku tak luput dari komplain para pelari yang merasa keberatan fotonya diambil tanpa izin.

Ia pun selalu menghargai permintaan tersebut dan bersedia untuk tidak mempublikasikan foto yang dimaksud. Bagi Diwan, selama seseorang berada di ruang publik dan berpenampilan sopan, maka tak ada larangan untuk memotretnya. Namun, ia juga menekankan pentingnya menghormati batasan jika ada pihak yang tidak nyaman difoto.

Mengenai batas ruang publik dan privasi, Diwan menegaskan bahwa selama area tersebut bisa diakses oleh siapa saja, maka aktivitas di dalamnya bersifat publik.

Namun, jika sebuah area bersifat terbatas atau khusus, maka ia memandang itu bukan lagi ruang publik.

 “Prinsipnya sederhana, selama ruang itu bisa diakses umum, memotret tidak jadi masalah, tapi etika tetap harus dijaga,” tuturnya.

Kini, Diwan memilih tidak lagi menjadi fotografer jalanan yang memotret aktivitas olahraga karena persaingan yang ketat dan perang tarif yang menurutnya sering kali mengabaikan kualitas karya.

Ia lebih banyak mendapatkan peluang ekonomi justru dari profesinya sebagai fotografer jurnalistik, melalui kerja sama event maupun jasa dokumentasi yang datang dari relasi di bidang media.

Etika Fotografi Lemah, KBGO Mengintai

Layanan dokumentasi digital FotoYu terus menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya di kalangan pelari dan pengunjung Car Free Day yang kian ramai di Makassar. Meski menawarkan kemudahan mengabadikan momen olahraga, kehadiran FotoYu dinilai masih menyisakan celah ancaman privasi yang serius.

Menurut Daeng Ipul, Divisi Keamanan Digital SAFEnet, penggunaan layanan FotoYu memang menghadirkan risiko yang tak bisa diabaikan, salah satunya adalah potensi penyalahgunaan foto yang dapat berujung pada Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

“Risiko utama dari aktivitas FotoYu adalah pemanfaatan foto yang bisa sangat beragam, bahkan termasuk penyalahgunaan untuk KBGO,” ujar Daeng Ipul saat dihubungi, Selasa (9/7).

Ia mencontohkan, seorang fotografer yang bekerja sama dengan FotoYu bisa saja menyebarkan foto-foto yang diambil di acara olahraga ke pihak lain tanpa persetujuan, bahkan bisa digunakan untuk tujuan yang merugikan seperti pelecehan berbasis digital.

Pengambilan foto di ruang publik memang menjadi perdebatan klasik. Di satu sisi, ruang publik adalah area terbuka yang sah untuk kegiatan dokumentasi. Namun di sisi lain, ada hak privasi individu yang bisa terlanggar jika foto-foto tersebut dipublikasikan atau disalahgunakan tanpa izin.

“Masalah terbesarnya ada di aspek etika. Kita belum punya aturan yang ketat terkait dokumentasi di ruang publik, apalagi yang bermotif ekonomi,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa risiko penyalahgunaan foto bisa beragam, baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial. Di sinilah pentingnya prinsip consent atau persetujuan, terutama bagi fotografer yang sengaja mengambil gambar manusia di ruang publik.

Lebih lanjut, Daeng Ipul mengapresiasi langkah FotoYu yang sudah menggunakan teknologi facial recognition dan biometrik dalam aplikasinya. Menurutnya, inovasi ini merupakan langkah positif untuk menjaga privasi, baik bagi pengguna maupun fotografer.

“Penggunaan biometrik adalah langkah bagus, tapi harus diimbangi dengan sistem pengamanan data yang kuat agar tidak bocor atau disalahgunakan,” jelasnya.

Namun, ia menilai pengamanan digital saja tidak cukup. Perlu ada penekanan lebih besar pada etika fotografer dalam memanfaatkan hasil jepretan mereka. Termasuk tidak memindahkan atau menjual foto ke pihak ketiga tanpa sepengetahuan dan persetujuan orang yang ada dalam foto.

Ia menyebut, komunitas fotografi di Indonesia sebetulnya sudah memiliki standar etikanya sendiri. Tinggal bagaimana aturan tersebut dipatuhi dan ditegakkan oleh fotografer yang tergabung di komunitas ataupun yang bekerja sama dengan platform seperti FotoYu.

“Komunitas fotografi harus tegas dalam menanamkan etika. Jangan sampai karena ingin keuntungan ekonomi, nilai-nilai menghargai privasi dilupakan,” tegas Daeng Ipul.

Ia menambahkan bahwa FotoYu sebagai pemilik layanan seharusnya tidak hanya menyediakan mekanisme perlindungan data di sistem mereka, tetapi juga terus memantau dan memastikan bahwa kebijakan tersebut dipatuhi oleh semua pengguna.

Tak hanya pada tataran teknis, perlindungan hak-hak masyarakat juga menjadi sorotan. Masyarakat, menurutnya, tetap memiliki hak dan kebebasan untuk menolak difoto di ruang publik, meskipun kesadaran dan perlindungan hukum terkait hal ini masih lemah.

“Selama ini masyarakat hanya bisa menilai sendiri risiko dari pengambilan foto di ruang publik dan melakukan mitigasi secara mandiri untuk menekan risikonya,” ungkap Daeng Ipul.

Ia mendorong adanya peningkatan edukasi publik agar masyarakat semakin paham akan hak-haknya. Misalnya, hak untuk meminta foto dihapus jika tidak nyaman atau hak untuk tidak dimanfaatkan dalam materi promosi tanpa persetujuan.

Ia juga mengingatkan bahwa ruang publik bukan berarti ruang bebas tanpa batas. Hak-hak individu tetap melekat, terutama ketika gambar mereka bisa tersebar ke ranah digital yang tidak mudah dikontrol.

Selain fotografer dan penyedia platform, ia menilai pemerintah juga memiliki peran penting dalam merumuskan regulasi yang adil dan tegas terkait dokumentasi di ruang publik.

Regulasi yang jelas dinilai penting untuk melindungi masyarakat dari risiko-risiko digital seperti penyalahgunaan foto, pelecehan online, hingga pencurian identitas berbasis visual.

Di sisi lain, Daeng Ipul mengakui bahwa fotografi olahraga memiliki sisi positif, terutama dalam mendokumentasikan momen-momen berharga para pelari atau peserta event olahraga.

Namun, menurutnya, manfaat tersebut harus berjalan beriringan dengan penghormatan terhadap hak individu agar tidak menimbulkan ketidaknyamanan atau potensi pelanggaran privasi.

“Foto olahraga itu sah-sah saja dan bisa jadi kenangan indah. Tapi semuanya harus dilakukan secara etis dan transparan,” pesannya.

Ia berharap ke depan, layanan seperti FotoYu terus berbenah, tidak hanya dari sisi teknologi tetapi juga dalam menumbuhkan kesadaran etika digital di kalangan fotografer dan pengguna.

Keseimbangan antara dokumentasi, keamanan digital, dan penghormatan hak privasi di ruang publik diyakininya akan menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan aman di era digital.

Masyarakat pun diimbau untuk lebih kritis dan aktif melindungi hak-haknya di ruang publik maupun di dunia maya, agar tak menjadi korban penyalahgunaan foto atau data tanpa disadari.

“Penting bagi kita semua untuk paham bahwa ruang publik bukan berarti ruang tanpa aturan. Semua ada batasannya,” pungkas Daeng Ipul.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top