Jalan Sunyi Dosen Perempuan: Antara Pengabdian, Akademik, dan Domestik

Di balik deretan gelar akademik dan karya ilmiah yang terbit di jurnal bereputasi, terdapat perjalanan sunyi yang kerap tidak tampak dari luar: jalan yang dilalui dosen perempuan. Mereka bukan hanya pengajar dan peneliti, tetapi juga ibu, istri, anak perempuan, dan anggota masyarakat yang terus dituntut untuk hadir secara utuh di berbagai ruang kehidupan. Dalam keseharian, identitas ini seringkali bertabrakan, berkelindan, dan menuntut keteguhan hati.

Sebagai dosen perempuan, saya menyaksikan—dan mengalami—bagaimana pergulatan peran terjadi dari pagi hingga malam. Mengajar mahasiswa dengan semangat membangun generasi intelektual, menulis artikel untuk akreditasi, menyiapkan bahan ajar untuk akuntabilitas institusi, lalu pulang untuk kembali menjadi ibu yang mendampingi anak belajar, menyiapkan makan malam, atau mendengarkan cerita suami dan keluarga.

Ruang domestik yang dulu dianggap sebagai domain utama perempuan kini tidak ditinggalkan, tetapi justru berjalan berdampingan dengan peran profesional. Banyak dosen perempuan yang tetap menulis proposal hibah penelitian tengah malam, setelah anak-anak tidur dan pekerjaan rumah selesai. Ada pula yang menyelesaikan revisi jurnal sembari mengaduk sayur di dapur atau memeriksa tugas mahasiswa di ruang tunggu praktik dokter anak.

Namun, ketangguhan ini seringkali dibungkam oleh budaya kerja yang maskulin, yang menjunjung tinggi produktivitas tanpa kompromi. Dalam banyak forum akademik, kita jarang mendengar diskusi soal beban ganda dosen perempuan. Padahal, kehadiran perempuan di dunia akademik bukan hanya menambah angka partisipasi, tetapi membawa nilai, perspektif, dan kepekaan yang tidak tergantikan.

Ironisnya, dalam dunia pendidikan tinggi yang mestinya progresif, dosen perempuan masih berjuang untuk mendapatkan ruang aman dari bias gender, pelecehan simbolik, hingga ekspektasi sosial yang tidak adil. Ketika cuti melahirkan dianggap sebagai ‘kemewahan’, atau ketika lembur malam dipandang sebagai bukti dedikasi, tanpa melihat konsekuensinya terhadap keseimbangan hidup dosen perempuan.

Lalu, apakah artinya kita harus menyerah?

Tidak. Justru inilah saatnya membicarakan ulang kebijakan kampus yang ramah gender, membuka ruang curhat profesional bagi para akademisi perempuan, dan mengakui bahwa produktivitas bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dosen. Kita butuh narasi alternatif—narasi yang tidak menjadikan perempuan sekadar pengisi data pelaporan institusi, tapi sebagai penggerak, pemikir, dan pendidik yang utuh.

Saya percaya, jalan sunyi ini bukan tanpa cahaya. Asal kita mau membuka mata, mendengar lebih dalam, dan menciptakan ruang-ruang solidaritas di antara sesama perempuan akademisi.

Karena sesungguhnya, perjuangan ini bukan hanya tentang bertahan, tapi tentang menata ulang dunia akademik agar lebih adil dan manusiawi.

Tentang Penulis:

Maria Ulviani, dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar. Ia juga aktif sebagai pendamping kepenulisan di SMP Unismuh Makassar dan anggota Bidang Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) ‘Aisyiyah Sulawesi Selatan. Selain aktif menulis cerpen dan puisi, ia telah menerbitkan lebih dari 20 buku ajar dan sastra, serta kerap menjadi narasumber dalam berbagai pelatihan literasi dan akademik. Ia dapat dihubungi melalui email: mariaulviani@unismuh.ac.id.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top