Karaeng Baine, Sang Pemimpin Militer Perempuan dalam Konflik Kerajaan Gowa

Kisah perjuangan perempuan dalam sejarah Nusantara seringkali tersembunyi di balik narasi besar tokoh laki-laki.

Tak terkecuali sejarah kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan yang juga menyimpan satu nama. Namun, nama ini kini mulai kembali diperbincangkan: Karaeng Baine.

Ia adalah perempuan bangsawan dari wilayah Bontoala yang dikenal sebagai pemimpin militer dan perempuan tangguh di masanya.

Ia bukan sekadar figur pelengkap dalam struktur istana. Karaeng Baine adalah pemimpin yang benar-benar hadir dalam pusaran konflik lokal antara Gowa dan kerajaan tetangga.

Dalam situasi genting, ketika kekuasaan diuji oleh ancaman eksternal, Ia tampil bukan sebagai penonton, melainkan penggerak pasukan.

Sumber sejarah lokal mencatat bahwa Karaeng Baine membentuk dan memimpin laskar perempuan untuk memperkuat pertahanan Gowa.

Perempuan-perempuan muda dari berbagai lapisan masyarakat dilatih untuk menjadi barisan tempur.

Mereka mengenakan pakaian tempur khas Makassar dan berlatih strategi perang sebagaimana prajurit laki-laki.

Kepemimpinan Karaeng Baine tak hanya menonjol dalam taktik dan keberanian, tetapi juga dalam karismanya yang mampu membakar semangat sesama perempuan.

Ia menjadikan keberanian bukan milik satu jenis kelamin, tetapi milik semua yang rela memperjuangkan tanah dan martabat.

Dalam catatan lontarak yang disalin ulang oleh peneliti sejarah lokal, Karaeng Baine disebut sebagai “Pammase Baine”, atau “Perempuan yang Ditakuti.”

Julukan ini bukan tanpa sebab. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang disegani, baik oleh kawan maupun lawan.

Beberapa kronik menyebut keterlibatannya dalam pertempuran di wilayah pesisir selatan Gowa, di mana pasukan perempuan yang Ia pimpin berhasil membalikkan keadaan setelah serangan mendadak dari kerajaan tetangga.

Dalam peristiwa itu, Karaeng Baine dikenal bukan hanya sebagai pemimpin dari jauh, tetapi turut terjun langsung di medan perang.

Strategi perangnya cenderung mengecoh. Ia tidak memakai kekuatan semata, melainkan kecerdasan untuk membangun perang gerilya.

Pasukan perempuannya bergerak dalam diam, menembus garis belakang musuh, dan memotong logistik lawan. Kemenangan bukan dicapai dengan jumlah, tetapi kecermatan.


Diplomasi dan Legenda yang Tumbuh Bersama Rakyat

Karaeng Baine tak hanya dikenal di medan tempur. Ia juga tampil di ruang diplomasi sebagai perempuan bangsawan yang cakap bernegosiasi.

Ia mewakili Gowa dalam beberapa pertemuan antarkerajaan kecil, dan sering kali berhasil meredam konflik sebelum menjadi perang terbuka.

Dalam satu kisah lisan yang masih hidup di Bontoala, disebutkan bahwa Karaeng Baine berhasil mempertemukan dua kelompok bangsawan yang berseteru dan menyatukannya lewat aliansi pernikahan serta perjanjian dagang yang menguntungkan Gowa.

Ia paham betul bahwa kekuatan kerajaan tak hanya diukur dari senjata, tetapi juga dari stabilitas hubungan sosial.

Karaeng Baine mewariskan lebih dari sekadar kemenangan. Ia mewariskan pemahaman bahwa perempuan punya peran besar dalam menjaga dan membangun tanah airnya.

Laskar perempuan yang Ia bentuk menjadi simbol perlawanan, dan bahkan menginspirasi pelatihan milisi perempuan dalam lingkup terbatas di kemudian hari.

Dalam kehidupan sehari-hari, Karaeng Baine juga dikenal sebagai pelindung budaya. Ia merawat warisan leluhur Gowa, termasuk dalam bentuk tarian, tenunan, dan seni tutur.

Ia percaya bahwa kekuatan sejati sebuah kerajaan bukan hanya pada benteng dan tombak, tetapi pada identitas budaya yang hidup dalam masyarakatnya.

Saat masa damai tiba, Karaeng Baine tidak lenyap dari panggung sejarah. Ia justru semakin aktif mengembangkan jaringan perempuan bangsawan untuk mengedukasi rakyat tentang pentingnya menjaga tanah dan nilai-nilai lokal.

Ia ingin agar peran perempuan tak lagi dianggap di belakang, melainkan sejajar dalam membangun masa depan.

Meski namanya tak sepopuler Sultan Hasanuddin atau tokoh pria lainnya dari Gowa, keberadaan Karaeng Baine dalam narasi sejarah perlahan mulai dihidupkan kembali.

Peneliti lokal dan sejarawan perempuan kini menggali ulang kisahnya dari lontarak, cerita lisan, dan dokumen istana yang selama ini terpinggirkan.

Kisahnya menjadi bukti bahwa pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh keteguhan hati, ketajaman akal, dan keberanian melangkah saat banyak orang memilih mundur. Karaeng Baine adalah cerminan dari itu semua.

Dalam beberapa tahun terakhir, namanya mulai diajukan sebagai ikon lokal untuk memperkuat kesadaran sejarah di kalangan generasi muda Sulawesi Selatan. Beberapa sekolah bahkan menyisipkan kisahnya dalam pelajaran muatan lokal.

Kisah Karaeng Baine tak hanya milik Bontoala. Ia milik semua perempuan yang hari ini mencari sosok teladan.

Ia adalah simbol bahwa keberanian dan kepemimpinan bukan milik satu zaman, melainkan bisa tumbuh kapan saja jika kita berani menyambutnya.

Bontoala, sebagai kampung halaman sang pejuang, kini menyimpan semangat itu dalam tradisi, lisan, dan gerak warganya.

Mereka mengenang Karaeng Baine bukan sebagai dongeng, tetapi sebagai fakta sejarah yang hidup dan terus berdenyut dalam ingatan kolektif.

Melalui sosoknya, sejarah Gowa tidak lagi hanya diceritakan dari sudut pandang laki-laki. Ada jejak-jejak perempuan pemberani yang harus ikut dibaca, dipelajari, dan diteruskan. Karaeng Baine adalah salah satunya—dan mungkin, yang paling terang di antara yang terlupakan.

Referensi:

Kompilasi Lontara Bilang Gowa-Tallo, Balai Bahasa Makassar (2020)

Lontarak Gowa, Salinan Ardi Patunru (1975)

Hasriadi, “Perempuan dan Kekuasaan di Gowa Tua,” Jurnal Sejarah Lokal Makassar (2022)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top