Korban Kuota Domisili, Emak-emak Cari Keadilan dari Carut-Marut SPMB Sulsel 2025

Dikorbankan Sistem: Ketika Kursi Titipan, dan Data tak Transparan Bayangi SMPB Sulsel

PENULIS: AL FATH

ilustrasi demonstrasi. Pict: dok makkunrai.com

Makassar – Jika biasanya aksi protes di jalan dengan bakar ban dilakukan oleh pemuda atau aktivis mahasiswa, namun kali ini justru berbeda. Kamis (16/7/2025), suasana Kantor Dinas Pendidikan Sulsel memanas, aksi bakar ban, spanduk protes, dan teriakan kekecewaan memenuhi halaman kantor oleh barisan emak-emak.

Emak-emak yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat BTP ini, menuntut kejelasan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB 2025 yang dianggap tidak adil. Mereka turun langsung memperjuangkan hak anak-anak mereka yang tidak kebagian kuota masuk sekolah negeri melalui jalur domisili.

“Untuk apa ada sekolah di samping rumah, kalau anak kami tak bisa masuk?” ujar Ratna, seorang ibu yang anaknya ditolak lewat jalur domisili, meski rumah mereka hanya berjarak beberapa meter dari SMA Negeri 21 Makassar.

Ratna mengatakan, aksi pada Kamis tersebut, adalah hari ketiga mereka bolak-balik ke kantor Disdik Sulsel. Sebagai bentuk perjuangan mereka agar keadilan dari jalur domisili yang ditetapkan pemerintah benar adanya.

Ratna menyebutkan, mereka (Aliansi Masyarakat BTP) sempat nekat menyegel gerbang SMA 21 Makassar dengan cara mengelas pintu masuk sekolah — sebagai bentuk protes atas sistem yang mereka nilai tidak berpihak pada warga setempat.


Kursi Tak Sesuai Kuota, Data Sosialisasi Beda dengan Realita

Fitri, ibu lainnya, juga mempertanyakan transparansi data saat sosialisasi. Ia mengungkap bahwa kuota yang disebutkan saat pertemuan awal menyebut 40 siswa per rombel (rombongan belajar), namun saat pengumuman, data yang masuk hanya 36.

Diketahui, Rombel alias Rombongan Belajar ialah satuan siswa yang terdaftar dalam satu kelas. Hitungan dari Aliansi Masyarakat BTP, mestinya masih ada 48 kursi kosong dari 12 kelas di SMA 21 Makassar.

“Apalagi masih ada anakku juga tahun depan (akan mendaftar sekolah,” tambahnya.

Sebenarnya, Pemprov Sulsel sudah memberikan opsi lain bagi para calon siswa yang tak diakomodir di sekolah negeri akan dialihkan ke swasta, dengan adanya bantuan dana. Namun solusi tersebut dianggap tidak tepat, sebab mau tidak mau sekolah swasta pasti merogoh kocek lebih dalam.

“Ceritanya kita maunya (sekolah) negeri, karena tidak ada uang, kita rakyat tidak mampu, kita bukan anggota dewan,” jelasnya.


Solusi Penambahan Rombel?

Kepala Bidang SMA Disdik Sulsel, Muh Nur Kusuma, menyatakan pihaknya sudah mengusulkan penambahan rombel ke pemerintah pusat.

Sambil menunggu, siswa-siswa yang tak mendapatkan kursi di SMA 21 Makassar akan dialihkan ke SMA Negeri 25 Makassar. Dan tetap diperbolehkan mengikuti MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah) di sekolah tujuan mereka.

Ia menegaskan bahwa semua anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Meski begitu, ia tidak bisa memastikan para siswa tersebut dapat diterima di SMAN 21 Makassar.

“Sambil mengusulkan ke pusat, kalaupun nanti tidak ter-cover maka tadi keputusan bersama adalah memasukkan ke SMA 25,” jelasnya.


Masalah Sistemik, Bukan Kasus Tunggal

Kisruh di SMA 21 Makassar hanya satu dari banyak masalah dalam pelaksanaan PPDB di Indonesia. Selain anomali kuota, isu titipan pejabat dan jual beli kursi menjadi “rahasia umum” yang terus berulang setiap tahun ajaran baru.

Pengamat Pendidikan UNM, Prof. Arismunandar, menilai akar masalahnya adalah keterbatasan sekolah negeri dan efisiensi anggaran pemerintah.

“Kalau tidak lolos di negeri, alihkan ke swasta tapi subsidi harus jelas. Beberapa provinsi seperti DKI Jakarta sudah mempraktikkan ini,” ujarnya.

Arismunandar menyarankan agar pemerintah tidak hanya memberikan bantuan dana sekolah, tetapi juga mensubsidi gaji guru di sekolah swasta agar biaya operasional tidak memberatkan masyarakat.

Penambahan Rombel Bukan Solusi

Ia menolak usulan penambahan rombel karena bisa membuat sekolah overkapasitas dan mengorbankan ruang penting seperti perpustakaan dan laboratorium.

“Kalau semua ruang diubah jadi kelas, itu bukan solusi. Itu malah merusak sekolah,” tegas mantan Rektor UNM itu.

Terkait dugaan adanya jalur “titipan” pejabat yang menyingkirkan warga biasa, Prof. Aris mengakui hal ini sulit dibuktikan karena bisa bersembunyi di balik jalur prestasi.

“Bisa saja jalur prestasi dimanfaatkan, dibungkus nilai tinggi atau piagam yang sulit diverifikasi. Bukti kuatnya sulit,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top