
Foto Ilustrasi
Musim haji 2025 kali ini membawa kisah unik bagi kelompok perempuan. Dari total 213.860 jemaah reguler asal Indonesia, lebih dari separuhnya — tepatnya sekitar 118.836 jiwa — adalah perempuan.
Fenomena ini lebih dari sekadar statistik. Ini adalah refleksi keberanian dan semangat perempuan Indonesia menjalankan ibadah tertinggi dengan penuh pengabdian.
Namun, kehadiran perempuan dalam jumlah besar ini juga menjadi panggilan untuk meningkatkan layanan haji agar lebih ramah, lembut, dan peka terhadap kebutuhan khusus mereka.
Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menjadi suara perempuan di Tim Amirul Hajj 2025.
“Saya fokus pada layanan jemaah perempuan, karena tahun ini jumlah mereka lebih banyak dari laki-laki,” ujar Arifah dikutip dari web MUI Indonesia, Kamis (04/06/2025).
Salah satu perhatian utamanya adalah fasilitas dasar seperti toilet dan ruang aman yang memadai.
“Toilet untuk perempuan harus lebih banyak, karena pemakaian mereka cenderung lebih lama. Hal sederhana, tapi sangat berpengaruh pada kenyamanan,” katanya.
Selain itu, kebutuhan akan pembimbing ibadah perempuan menjadi sorotan penting. Dalam urusan pribadi yang sensitif, seperti haid dan istihadhah, perempuan memerlukan pendamping sesama perempuan yang mampu memberikan bimbingan dengan penuh empati.
“Perlu penambahan pembimbing ibadah perempuan agar mereka mendapatkan pendampingan yang lebih manusiawi dan memahami kondisi keperempuanan,” tegas Arifah.
Menteri PPPA itu berharap musim haji ini menjadi tonggak perubahan, mewujudkan layanan haji yang inklusif dan ramah perempuan, dari fasilitas fisik hingga pendampingan spiritual yang mendalam.
Dari Makkah, ulama perempuan Nyai Hj. Badriyah Fayumi menegaskan bahwa haid bukan halangan untuk wukuf.
“Yang tidak boleh hanya tawaf, itu pun bisa ditunda sampai suci,” jelasnya. Ia juga menjelaskan alternatif niat haji bagi yang tiba saat waktu wukuf hampir tiba, yakni haji qiran, yang tetap sah jika diniatkan dengan benar.
Pesan Nyai Badriyah bukan hanya aturan fikih, melainkan penghibur hati perempuan yang khawatir. Bahwa mereka tetap mulia di hadapan Tuhan, apapun kondisi fisik yang mereka alami, selama niat dan usaha tidak pernah pudar.
Kini, saat perempuan Indonesia menapaki tanah suci dengan penuh haru dan doa, sudah saatnya dunia di belakang mereka merespons.
Negara, sistem, dan layanan haji harus lebih cepat memahami dan melayani kebutuhan perempuan, karena mereka bukan hanya jemaah—mereka adalah penjaga doa, pelintas sunyi, dan pembawa cinta menuju ridha Ilahi.
mantap