
Di sudut sebuah kafe di Makassar, Reni Juliani duduk sendirian, ditemani secangkir kopi dan cahaya matahari sore yang jatuh lembut di wajahnya. Tangannya menari di atas laptop, sementara pikirannya terpecah di antara tanggung jawab kantor dan bayangan anak yang menantinya di rumah.
Reni adalah potret banyak perempuan hari ini—yang terus berjalan di atas dua kaki yang sama, memikul peran sebagai ibu dan pekerja, sambil diam-diam berjuang menjaga kewarasan diri.
Saat penulis menemui, nampak Reni, sapaannya, perlahan menyeruput hangat kopi yang memperlihatkan seakan dirinya sedang meluruhkan segala kepenatan yang tengah dijalaninya.
Sore itu, Reni mengenakan kemeja putih yang tampak elegan, dipadukan dengan jeans biru yang memberikan nuansa kasual namun tetap stylish. Auranya tampak bersinar di tengah cahaya matahari yang perlahan memudar, seakan tengah melukiskan sebuah kisah manusia yang tak kenal lelah, tapi juga tak melupakan saat untuk bernapas dan menikmati hidup.
Saat ini, Reni tengah bergelut memenuhi peran gandanya sebagai perempuan, pekerja dan seorang ibu. Di tengah kesibukan hidup yang seolah tanpa jeda, Reni berbagi kisah kepada Makkunrai.com mengenai caranya menjaga kewarasan di tengah tekanan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Reni bilang, untuk menjaga kewarasan bukan soal selalu tenang dan bebas masalah. Tapi, lebih daripada itu.
“Sejujurnya, aku nggak selalu waras tiap hari. Ada saat di mana aku merasa kayak robot. Bangun, kerja, ngurus anak, lalu tidur. Tapi aku belajar untuk ‘mencuri’ momen-momen kecil buat bernapas,” ujarnya.
“Entah itu sambil ngeteh sebentar di sudut rumah, atau dengerin lagu favorit saat tengah mencuci piring. Kewarasan itu bukan sesuatu yang utuh terus-menerus, tapi serpihan-serpihan yang aku kumpulkan biar aku nggak kehilangan diri aku sendiri,” katanya.
Bagi Reni, me time bukan kemewahan, tapi sebuah kebutuhan penting.
“Me time itu harga mati. Kadang hanya 10 menit, maskeran sambil scroll TikTok sambil ketawa, tapi itu penting untuk menyadarkan aku bahwa aku juga manusia yang butuh diberi ruang,” ujar Reni sambil melirik layar ponsel di sebelahnya.
MENGENALI LELAH
Reni juga belajar mengenali saat dirinya tengah lelah. Katanya, Ia gampang marah tanpa sebab, atau tiba-tiba hati rasanya gelap, itu pertanda aku udah lelah.

Dalam kondisi seperti itu, Reni kadang memilih mencari tempat sunyi sebentar, lalu menarik napas, dan berbicara lembut pada diri, “‘Pelan-pelan ya, gak harus diberesin sekarang”.
PENERIMAAN KUNCI DAMAI
Bagi Reni, penerimaan adalah kunci kedamaian.
“Kalau aku terus-terusan mencari kesempurnaan, aku akan capek dan frustrasi. Makanya aku belajar bilang, ‘Udah, cukup segini. Sisanya biar Tuhan yang urus.’ Melepaskan bukan berarti menyerah, tapi memberi ruang untuk bernapas lebih luas.”
Lalu, ketika pikiran negatif mulai memenuhi kepalanya, Reni tak melawan perasaan tersebut, tapi belajar untuk hidup bersama pikiran negatif itu.
“Aku ngobrol saja sama pikiran negatif itu, kayak ngobrol sama teman yang bawel. Aku tanya: ‘Ini sebenernya masalahnya apa? Benarkah, atau malah sebuah asumsi saja?’ Dengan cara itu, aku lebih mampu menyortir pikiran yang memang harus diberesin dan yang boleh diberhentikan sebentar.”
Reni juga menyampaikan kalau, banyak hal yang selalu berusaha ia lalui dalam menjalani peran gandanya.
“Kadang pas lagi kerja, aku mikir, ‘Anakku lagi apa ya? Apa dia butuh aku?’ Tapi pas lagi nemenin anak, aku juga kadang overthinking kerjaan. Seolah-olah aku nggak pernah bisa 100% hadir di salah satu. Makanya tantangan terbesarnya adalah belajar untuk menerima bahwa aku memang tidak akan pernah sempurna untuk semuanya.”
MENULIS DAN DUKUNGAN LINGKUNGAN
Selain penerimaan, Reni juga kerap menulis dan curhat untuk menjaga psikisnya.
“Kalau pikiranku udah kalut, aku biasanya nulis. Bukan buat dibaca orang, tapi lebih untuk mindahin isi kepala ke tulisan. Dan kalau memang tak sempat, aku curhat saja ke diri sendiri di kamar mandi. Kamar mandi itu tempat suci, tempat aku bebas menangis atau meluapkan apa saja tanpa harus menjelaskan ke siapapun,” katanya sambil mengenang saat-saat sulit yang harus dilaluinya.
Dukungan lingkungan, yaitu keluarga dan teman juga tak kalah penting bagi perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis ini.
“Dukungan itu punya bentuk bermacam-macam. Sekadar dapat sebuah chat lucu, atau saat teman menawarkan menjaga sebentar si kecil, itu saja bikin hati lebih tenang. Kadang yang aku butuhkan bukan solusi, tapi sebuah kehadiran dan penerimaan,” bebernya.
PEREMPUAN HARUS ADA UNTUK DIRINYA SENDIRI
Reni juga punya pesan penting untuk para perempuan lain yang tengah bergelut menjaga kewarasan sambil menjalani peran gandanya.
“Nggak apa-apa kalau kamu capek. Nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa memenuhi semuanya. Tapi yang penting, kamu tetap ada untuk dirimu sendiri, bukan hanya untuk orang lain. Jangan tunggu dunia berhenti dahulu, lalu baru kau boleh istirahat. Ingat, yang paling memahami perasaanmu adalah dirimu sendiri,” ujarnya tersenyum.
Reni juga menyinggung terkait Soft living yang kini tengah menjadi perbincangan sebagai salah satu cara bahagia.
“Soft living bukan soal hidup yang serba mudah, tapi belajar memilih apa yang penting dan melepaskan apa yang tidak. Hidup boleh keras, tapi hati jangan. Itu yang aku pegang,” terangnya.
Bagi Reni Juliani, menjaga kewarasan memang sebuah proses, bukan tujuan. Dalam proses itu, penerimaan, dukungan, me time, dan humor menjadi senjata penting. Sehingga di tengah kesibukan, hati tetap dapat bernapas dan melangkah lebih jauh.
PENULIS: GITA OKTAVIOLA