Mengenal Kelompok Waifuna, Perempuan-perempuan Penjaga Laut Raja Ampat

Salah satu kegiatan Kelompok Waifuna yaitu pengelolaan sasi. Foto: ist

Di tengah banyaknya perlawanan atas tindakan tambang nikel di Raja Ampat Papua, meski pada akhirnya Presiden Prabowo Subianto pada 10 Juni 2025 mencabut izin operasi dari perusahaan tambang ini. Raja Ampat kini berada di titik kritis antara tekanan ekonomi dan konservasi lingkungan.

Diketahui Presiden Prabowo baru mencabut empat dari lima perusahaan tambang nikel—yakni PT Nurham, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymond Perkasa—di kawasan geopark UNESCO setelah terjadi tekanan publik dan temuan kerusakan ekologis, termasuk deforestasi lebih dari 500 hektar serta sedimentasi yang mengancam terumbu karang dan ekosistem laut yang kaya.

Langkah ini disambut positif oleh kelompok konservasi seperti Greenpeace dan warga adat yang sudah menggelar protes baik di lapangan maupun di konferensi tingkat nasional .

Namun, izin PT Gag Nikel—anak usaha Antam—masih berlaku karena operasinya berada di luar kawasan geopark. Meskipun sempat dihentikan sementara, Gag Nikel kembali diperbolehkan beroperasi dengan pengawasan ketat oleh pemerintah.

Meski mengklaim telah melakukan rehabilitasi lahan pasca-tambang, kelompok lingkungan meragukan efektivitasnya dan menyerukan agar izin Gag Nikel juga dicabut permanen karena dikhawatirkan berpotensi menimbulkan sedimentasi, merusak mangrove, dan mengganggu rute migrasi biota laut

Sementara itu, beberapa perusahaan yang izinnya dicabut sedang mengajukan banding, sehingga nasib kawasan ini masih berada di persimpangan hukum dan regulasi: apakah tambang bisa kembali atau konservasi benar-benar ditegakkan?

Perempuan-perempuan Penjaga Laut Raja Ampat

Namun di tengah fakta kepentingan pertambangan dan konservasi lingkungan di Raja Ampat, ada perempuan-perempuan yang selama ini turut ikut menjaga ekosistem laut di salah satu kekayaan kebanggaan Indonesia ini.

Mereka adalah perempuan-perempuan Raja Ampat yang dikenal dengan sebutan Kelompok Waifuna.

Dikutip dari laman antara.news, Kelompok Waifuna terdiri atas 36 anggota yang berstatus sebagai ibu atau akrab dengan sebutan mama dengan rentang usai mulai dari 22 tahun hingga 30 tahun ke atas. Pada awal didirikan, Kelompok Waifuna dipimpin oleh kakak ipar Almina yang bernama Betjina Hay. Kepemimpinan itu dilanjutkan oleh Almina setelah Betjina tutup usia pada tahun 2013.

Dalam bahasa setempat, Waifuna berarti berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa. 

Salah satu peran utama kelompok tersebut adalah mengelola sasi laut. Dalam pengelolaan sasi, Kelompok Waifuna didampingi langsung oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Menurut Koordinator Program Bentang Laut Kepala Burung YKAN Awaludinnoer, sasi dapat dipahami sebagai praktik adat untuk mengelola sumber daya alam berkelanjutan, baik di darat maupun di laut yang hingga saat ini masih diterapkan di wilayah Maluku dan Papua.

Sasi laut menghadirkan aturan spesifik dan tidak tertulis mengenai wilayah penangkapan biota laut, alat penangkapan biota laut, spesies target, waktu, dan lokasi penangkapan biota laut.

“Salah satu hasil dari pendampingan YKAN adalah kemunculan kesadaran dalam diri para mama di Waifuna agar mereka selektif dalam mengambil hasil laut. Mereka akan mengembalikan hasil tangkapan ke laut jika tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan,” ujar Awaludinnoer.

Didukung Para Lelaki

Pengelolaan sasi laut oleh kaum perempuan itu didukung penuh oleh para lelaki Kapatcol. Kepala Kampung Kapatcol, Luis Hay bahkan mengakui para ibu Kapatcol lebih telaten dalam mengelola sasi laut, terutama dalam memastikan hasil panen bermanfaat bagi warga dan dapat dilakukan secara terus menerus.

Sementara itu, Manajer Senior Bentang Laut Kepala Burung YKAN Lukas Rumetna menyampaikan sejumlah keunggulan pengelolaan sasi laut oleh perempuan, adalah erempuan memiliki pola pikir yang bersifat jangka panjang sehingga mereka lebih detail dan teliti dalam memastikan seluruh tahapan sasi laut berjalan dengan baik dan terus dilakukan ke depannya.

Perjalanan para perempuan Kapatcol dalam mengelola sasi laut tidak berhasil begitu saja.

Salah satu perempuan dari Kelompok Waifuna, Almina mengatakan panen pertama mereka mengalami kegagalan. Tidak ada satu pun target biota laut, seperti teripang yang mereka dapatkan dari pelaksanaan sasi untuk kali pertama di tahun 2011 itu. Meskipun begitu, kegagalan tidak menyurutkan keteguhan dan semangat para mama untuk memastikan sasi laut bermanfaat bagi seluruh warga.

Mereka lantas kembali mencoba melakukan sasi dengan strategi baru, yakni memindahkan lokasi. Langkah tersebut lalu membuahkan hasil, mereka berhasil membuktikan perempuan mampu mengelola sasi laut.

Kelompok Waifuna dan sasi lautnya terus mengalami perkembangan, bahkan pemerintah desa memperluas wilayah sasi mereka dari 32 hektare menjadi 213 hektare pada tahun 2019, dan hingga saat ini terus meluas.

PENULIS: ND

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top