Mengenal Lucy Guo, Sosok Perempuan Miliarder Termuda Asal Amerika

Ilustrasi perempuan miliarder. (Foto: dok Makkunrai.com)

“Banyak jalan menuju Roma.” Peribahasa ini tampaknya paling cocok menggambarkan perjalanan hidup Lucy Guo. Seorang perempuan miliarder termuda yang asal amerika.

Di usia 30 tahun, ia mampu mencapai puncak kesuksesan meskipun tak berasal dari kalangan keluarga mapan.

Atas pencapaiannya yang menakjubkan, nama Lucy Guo kini menjadi perbincangan hangat, bukan hanya di kalangan pebisnis, tapi juga masyarakat luas.

Pengusaha teknologi satu ini dinobatkan Forbes sebagai miliarder perempuan termuda yang meraih kekayaannya secara mandiri.

Jika biasanya para miliarder mewarisi kekayaan dari keluarga, Lucy justru membuktikan kalau perempuan yang melawan arus bisa sukses dengan kegigihan.

Dengan kerja keras, visi, dan keberanian mengambil risiko, ia mampu mencapai puncak tanpa bergantung pada warisan.

Keberhasilannya juga melampaui kekayaan penyanyi papan atas Taylor Swift. Perbandingan inilah yang menjadikan nama Lucy menjadi beken dan naik daun di media sosial.

Dilansir dari Forbes, Minggu (15/06/2025), kekayaan Lucy saat ini mencapai US$ 1,3 miliar, atau lebih dari Rp 21,87 triliun (dengan kurs Rp 16.825 per dollar AS).

Sementara Taylor Swift, yang lebih dahulu tenar, saat ini diperkirakan punya kekayaan sekitar US$ 600 juta atau lebih dari Rp 10 triliun.

Lucy Guo, perempuan asal Amerika yang sukses mendulang karir miliaran di usia muda. (Foto: Hypeabis)

Perjalanan Karir Lucy Guo Mendulang Kesuksesan

Lahir di Amerika Serikat pada 14 Oktober 1994, Lucy merupakan putri imigran Tionghoa yang mencari peruntungan di Negeri Paman Sam.

Ayah dan ibunya, yang bekerja sebagai insinyur listrik, memberikan teladan kerja keras dan hidup mandiri yang kemudian turut membentuk karakter Lucy.

Awalnya, Lucy memang bukan siswa yang gemilang di bidang akademik. Tapi justru saat putus kuliah, ide kreatifnya mulai bersinar.

Di usianya yang baru 21 tahun, bersama Alexandr Wang, dia mendirikan Scale AI. Sebuah perusahaan teknologi yang kemudian melambungkan namanya.

Dua tahun kemudian, keduanya sukses menembus daftar 30 Under 30 versi Forbes. Tapi perjalanan tak selalu mulus. Perbedaan visi kemudian membuat Lucy memilih melangkah sendiri dan mencari peluang lain.

“Pengalaman pertama saya yang sesungguhnya dengan dunia teknologi profesional adalah Beasiswa Thiel. Tentu saja, saya mempelajari ilmu komputer dan interaksi manusia-komputer di Carnegie Mellon sebelum ini. Namun, menjalani kehidupan startup secara penuh waktu adalah titik balik utama yang membawa saya bertemu dengan orang-orang yang berpikiran sama yang memiliki keingintahuan yang sama terhadap inovasi dan teknologi terkini, seperti AI,” ujarnya.

Tak kenal menyerah, Lucy kemudian melahirkan venture capital bernama Backend Capital dan juga Passes. Ini adalah platform yang tengah diberdayakan untuk para kreator.

Selain kerja kerasnya, Lucy juga belajar bahwa proses mencapai puncak memang membutuhkan pengorbanan, termasuk waktu tidur dan kesenangan lain.

“Saya belajar bahwa disiplin adalah hal yang luar biasa. Saya harus bangun lebih pagi, belajar lebih giat, tapi juga belajar mencari kesenangan, seperti belajar menjadi DJ di waktu luang,” katanya saat diwawancarai San Francisco Chronicle.

Lucy merupakan seorang mahasiswa jurusan ilmu komputer. Namun perkuliahannya tidak pernah selesai alias putus kuliah. 

Bagi Lucy, menjadi perempuan, imigran, dan drop-out bukanlah penghalang, tapi malah menjadi motivasi untuk melangkah lebih jauh.

Dalam sebuah sesi bersama Forbes, dia juga menyebut bahwa perbedaan dan persaingan justru menjadi pendorongnya untuk terus belajar dan mencari peluang.

Dengan kerja keras, visi, dan hati yang terbuka, Lucy Guo mampu mencapai puncak kesuksesan, sambil memberikan cahaya harapan bagi generasi penerus, khususnya para perempuan, untuk tak mudah menyerah.

Penulis: Gigut

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top