Ruang Hidup Terancam, OMS Kawal Hak Perempuan dan Petani Polongbangkeng

Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) dalam konferensi pers di Kantor LBH Makassar, yang digelar bersama WALHI Sulsel, Solidaritas Perempuan Angin Mammiri, AGRA Sulsel, dan berbagai organisasi masyarakat sipil. (Foto: dok LBH Makassar)

Takalar – Luka yang menimpa perempuan dan petani Polongbangkeng, Takalar, tidak berhenti pada tanah yang direbut dan tubuh yang dipukul. Perempuan petani kini menanggung derita berlapis, kehilangan ruang hidup, kehilangan rasa aman, dan dihantam kekerasan maskulin.

Dalam konferensi pers di Kantor LBH Makassar, sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) berkumpul. Mereka menyuarakan hak perempuan dan petani Polongbangkeng.

Anggi dari Solidaritas Perempuan Angin Mammiri (SPAM) mengingatkan bahwa tubuh perempuan menjadi sasaran utama dalam represi aparat. Setidaknya sepuluh perempuan mengalami kekerasan fisik, mulai dari dipukul, ditarik paksa, hingga dijatuhkan ke tanah.

Namun luka fisik hanyalah permukaan. Kekerasan psikis jauh lebih parah. Perempuan petani kini hidup dalam ketakutan. Mereka tak berani tidur di rumah sendiri, cemas pintu rumah didobrak tengah malam, takut diciduk aparat, dan khawatir tidak pernah kembali. Trauma lama dari tahun 1998, ketika intimidasi dan kriminalisasi juga menimpa petani, kini muncul kembali bahkan lebih kuat.

“Perempuan petani Polongbangkeng kini bukan hanya kehilangan tanahnya, tapi juga rasa aman. Tanah yang dulu menumbuhkan padi, jagung, sayur untuk keluarga kini direbut, memaksa mereka jadi buruh tanpa jaminan keselamatan kerja. Beras yang dulu mereka hasilkan kini harus dibeli,” tegas Anggi.

Pelanggaran ini bukan sekadar kekerasan terhadap manusia, tetapi juga penghancuran ruang hidup perempuan. Tanah yang mestinya menopang kehidupan kini berubah menjadi sumber luka, memperparah kemiskinan dan ketidakpastian generasi penerus.

Dampak krisis juga dirasakan dari sisi lingkungan. Pendi dari WALHI Sulsel menyebut bahwa aktivitas monokultur tebu PTPN I Regional 8 bukan hanya merampas tanah, tetapi juga merusak ekosistem. Kesuburan tanah menurun drastis, keragaman hayati hilang, dan siklus air terganggu. Akibatnya, petani kehilangan ruang untuk menanam kebutuhan pokok.

“Polusi debu, asap, dan bau dari penebangan serta pembakaran lahan langsung mengancam kesehatan warga, terutama perempuan dan anak-anak. Risiko penyakit pernapasan meningkat, dan aktivitas industri ini juga menambah emisi karbon yang memperparah krisis iklim global,” jelas Pendi.

Ia menegaskan, negara justru membiarkan praktik ini, padahal hak atas lingkungan hidup yang sehat dijamin UUD 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2009.

Kerusakan lingkungan di Polongbangkeng bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga bencana sosial. Warga kehilangan sumber pangan, air bersih, dan generasi muda terancam kehilangan masa depan.

“Kerusakan lingkungan di Polongbangkeng adalah pelanggaran HAM. Negara gagal memenuhi hak dasar warga atas tanah, pangan, dan lingkungan hidup yang sehat,” tambah Pendi.

Hasbi dari LBH Makassar–YLBHI menekankan bahwa konflik agraria ini tidak bisa dipandang sekadar pertarungan antara petani dan perusahaan. Negara hadir langsung melalui aparat kepolisian, Brimob, dan TNI, yang justru ditempatkan bukan untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mengamankan kepentingan korporasi.

“Negara lebih memilih menjadi perisai perusahaan, padahal HGU PTPN sudah berakhir sejak Juli 2024,” tegas Hasbi.

Menurutnya, tindakan aparat yang membiarkan pekerja perusahaan membawa senjata tajam, namun memukuli dan menangkap petani, adalah pengkhianatan terhadap hukum. Tanggung jawab utama berada di Kapolres Takalar, namun Bupati Takalar, Kapolri, Panglima TNI, hingga Menteri BUMN juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab.

“Negara telah abai, dan pengabaian ini adalah bentuk pelanggaran hukum,” tegas Hasbi.

LBH Makassar menuntut investigasi menyeluruh oleh Komnas HAM untuk membuka kebenaran, menghadirkan keadilan bagi petani Polongbangkeng, dan mencegah praktik serupa terus berulang di berbagai wilayah konflik agraria lainnya di Indonesia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top