
Ilustrasi perempuan bahagia. (Foto: Dok Makkunrai.com)
Soft living, istilah baru yang kini beken di kalangan Gen Z, khususnya para perempuan. Gaya hidup yang satu ini bukan soal bermalas-malasan, tapi lebih memilih untuk melambat, lebih tenang, manusiawi, dan lembut menjalani hidup di tengah tekanan zaman yang sering tak manusiawi, apalagi bagi perempuan.
Soft living juga tengah melawan arus hustle culture yang terburu-buru dan serba instan. Dalam tulisan The Independent, “What is TikTok’s ‘Soft Life Era’? and Could It Be The Secret to Happiness?” dijelaskan bahwa tren ini merujuk pada pergeseran hidup mencari kepuadan dan kedamaian.
Artikel tersebut juga menjelasksn tentang bagaimana sebuah ruang penting bagi perempuan untuk bernapas, bebas, dan menjadi diri seutuhnya.
Generasi Z, lebih dari siapapun, tampak lelah jika harus terus-menerus memenuhi standar kesuksesan yang diberlakukan masyarakat.
Standar yang lebih sering merugikan dan melukai perempuan, mulai dari soal ukuran tubuh, pernikahan, karier, hingga kesuksesan financial.
Makanya, soft living menjadi sebuah pilihan hidup yang lebih manusiawi, lebih lembut, dan lebih dekat dengan hati masing-masing.
Mengikuti Irama Hidup Perlahan
Soft living memang bukan berarti antiproduktif, tapi lebih soal belajar memberi jeda dan belajar lebih peka terhadap apa yang dibutuhkan tubuh, pikiran, dan hati.
Hal ini dianggap sebagai keterampilan penting, terutama bagi para perempuan yang tengah bergelut memenuhi peran ganda, di rumah, di tempat kerja, dan di masyarakat.
Dikutip dari artikel GQ berjudul “The ‘Soft Life’ Is Trending. How Can You Have One for Yourself?”, soft living juga berarti belajar lebih dekat dengan diri dan lebih menerima apa yang terjadi saat ini.
Banyak perempuan yang mulai mencari kesuksesan bukan hanya soal gaji besar atau jabatan bergengsi, tapi juga soal hidup yang damai, nyaman, bebas dari tekanan, dan lebih manusiawi.
Soft living lebih memilih kualitas hidup di atas segalanya juga memberikan perlawanan lembut terhadap standar patriarkis yang kadang tak manusiawi.
Ini juga tampak dari perbedaannya dengan hustle culture. Soft living lebih memilih kualitas, bukan kuantitas, dan lebih manusiawi, bukan robot yang terus diberdayakan demi memenuhi ukuran kesuksesan yang diberlakukan masyarakat.
Dikutip Tirto.id, hustle culture lebih mencari “lebih, lebih, lebih” sedangkan soft living lebih memilih konsep hidup “cukup, nyaman, dan damai.”
Soft living juga bukan soal melarikan diri, tapi belajar untuk lebih manusiawi dan peka terhadap diri. Proses ini penting untuk para perempuan yang lebih sering melupakan kebutuhan dan perasaannya demi memenuhi kepentingan keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.
Ini juga soal belajar mendengarkan apa yang dibutuhkan tubuh dan pikiran. GQ memberitakan bahwa soft living bukan soal kemalasan, tapi lebih ke cara hidup yang sehat, seimbang, manusiawi, dan ramah untuk diri dan sekitar.
Soft living mendorong setiap perempuan lebih dekat dengan hati, lebih peka terhadap perasaan, dan lebih belajar memenuhi kebutuhan diri, bukan memenuhi standar yang diberlakukan masyarakat.
Langkah Mengikuti Soft Living
Untuk mengikuti cara hidup Soft Living, perempuan harus belajar berkata “tidak” dan melawan tekanan untuk selalu tampil sempurna, sesuai standar kecantikan, pernikahan, karier, dan peran keluarga yang diberlakukan masyarakat patriarkis.
Artikel GQ lebih memperdalam bahwa untuk mengikuti soft living, perempuan belajar untuk menolak apa yang memang tidak penting adalah satu aspek penting dari soft living.
Selain itu, soft living juga diterapkan dengan mencari kegiatan yang bikin hati lebih tenang, seperti journaling, yoga, melukis, atau cukup duduk sambil minum secangkir teh.
Langkah-langkah inilah yang turut menjaga kestabilan mental dan emosional para perempuan di tengah tekanan hidup modern.
Ini juga saatnya belajar lebih manusiawi, lebih lembut, dan lebih pemaaf, bukan hanya pada diri tapi juga pada proses hidup yang tengah dijalani.
Penulis: Gigut