Suap, Sawit, dan Meja Hakim: Skandal Korupsi Minyak Goreng Korbankan Dapur Perempuan Indonesia

Oleh: Redaksi Makkunrai.com

Ilustrasi korban kasus korupsi Foto: dok Makkunrai.com

Di meja pengadilan, miliaran rupiah berpindah tangan. Di dapur-dapur perempuan Indonesia, harga minyak goreng sempat meroket dan menyisakan rasa getir yang hingga saat ini masih belum hilang memorinya hingga saat ini.

Memori terhadap krisis minyak goreng yang melanda Indonesia pada 2021-2022 ternyata bukan sekadar masalah distribusi atau pasokan. Belakangan terungkap bahwa fasilitas ekspor CPO disalahgunakan oleh segelintir korporasi besar demi keuntungan sepihak — memicu kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri.

Dampaknya paling terasa di dapur rakyat, terutama perempuan dari kelas pekerja dan menengah ke bawah. Saat harga minyak goreng melambung hingga lebih dari dua kali lipat, ibu rumah tangga terpaksa antre berjam-jam, membatasi masakan, bahkan mengganti pola makan keluarga. Ironisnya, pada saat yang sama, elite bisnis dan pejabat bermain-main dengan miliaran rupiah di meja perundingan gelap.

Kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO) yang mendadak viral seban nilai pengembalian ganti rugi yang fantastis pada dasarnya bukan sekadar skandal bisnis dan hukum—ia juga merupakan pengkhianatan terhadap jutaan perempuan yang berjuang menanak nasi, menyiapkan lauk, dan menjaga pangan keluarga di tengah tekanan ekonomi.

Sebagai informasi, pada Selasa (17/6/2025), Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa Wilmar Group, salah satu dari tiga korporasi sawit raksasa yang terlibat, telah menyerahkan Rp11,88 triliun sebagai ganti kerugian negara.

Sebuah angka fantastis yang muncul setelah rangkaian praktik korupsi dan dugaan suap terhadap hakim demi memuluskan putusan lepas (ontslag) dari jeratan pidana.

Namun, pertanyaannya: di mana keadilan bagi rakyat yang menjadi korban?


Di Balik Uang dan Suap

Fakta bahwa seorang pejabat Wilmar, Muhammad Syafei (MSY), diduga menyiapkan uang suap Rp 60 miliar dalam bentuk dolar demi putusan lepas, menunjukkan betapa timpangnya akses terhadap keadilan. Skandal ini melibatkan hakim, panitera, dan pengacara yang membentuk mata rantai korupsi yang memalukan.

Sementara itu, perempuan sebagai konsumen — yang seringkali tak punya kuasa untuk bersuara — hanya menjadi korban. Tidak ada kompensasi atas kerugian emosional dan ekonomi yang mereka alami. Tidak ada pengakuan bahwa korupsi ini telah menghancurkan rasa ‘aman’ di rumah, khususnya di dapur.


Saatnya Perspektif Perempuan Masuk ke Akar Masalah

Kasus ini tidak boleh dilihat semata dari sisi legal dan angka-angka kerugian negara. Sebab tentu ada kerugian sosial, psikis, dan gender yang tak terbantah.

  • Di mana suara perempuan dalam proses pemulihan keadilan?
  • Apakah para pelaku hanya akan dihukum dengan uang dan bukan tanggung jawab moral?
  • Bagaimana negara menjamin hal serupa tidak terulang — terutama saat dampaknya langsung menghantam kebutuhan dasar rumah tangga?

Kami tak Lupa

Kami tak lupa antrean panjang ibu-ibu di pasar saat minyak goreng menghilang.
Kami tak lupa betapa sepinya dapur di banyak rumah karena harga tak lagi terjangkau.
Kami tak lupa bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan negara — ia adalah pengkhianatan terhadap perempuan dan kehidupan itu sendiri.


Redaksi Makkunrai.com
Ruang | Suara | Perempuan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top