Yang Perlu Perempuan Tahu tentang Kemelut di Timur Tengah


Ilustrasi perempuan terdampak perang. Pict: dok makkunrai.com

Makassar, 24 Juni 2025
Di ruang-ruang dapur perempuan, isu luar negeri sering terasa jauh dan rumit. Tapi apa yang sedang terjadi di Timur Tengah—antara Amerika Serikat, Iran, dan Israel—sebenarnya punya kaitan langsung dengan kehidupan banyak perempuan di Indonesia.

Ketegangan antara ketiga negara ini memuncak sejak serangkaian serangan militer saling balas yang terjadi. Hal ini memicu kekhawatiran akan pecahnya perang skala luas di kawasan Teluk. AS mendukung Israel dalam serangannya terhadap Iran, sementara Iran membalas dengan kekuatan penuh melalui sekutu-sekutunya di Lebanon, Suriah, dan Yaman.

Selintas

Aksi saling serang di kawasan Timur Tengah, mulanya adalah serangan besar-besaran Israel terhadap Iran pada Jumat, 13 Juni 2025. Aksi yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB ini memicu aksi pembalasan dari Teheran. Tak butuh waktu lama, kedua belah pihak saling menyerang selama beberapa hari terakhir. Akibatnya, rekam terbaru yang dirilis berbagai media sudah lebih dari 200 orang di Iran dan 14 orang di Israel tewas.

Meningkatnya ketegangan ini menampilkan fakta lain di mana lembaga seperti PBB, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), dan Pengadilan Internasional untuk Penyelesaian Sengketa (ICJ) makin tak dianggap dan tak berdaya.

Dunia seakan tengah menghadapi perubahan tatanan hukum internasional pasca-1945—hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pemerintah Israel beroperasi dengan tingkat impunitas yang makin parah. Pada saat yang sama, pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Donald Trump secara aktif merongrong lembaga-lembaga global yang seharusnya menegakkan hukum internasional.

Pemerintah Israel, selain terus melancarkan serangan udara dengan dalih mencegah program nuklir Iran, juga maju tanpa rasa takut menerobos tiga front lainnya. Israel semakin memperketat cengkeramannya di Gaza. Tujuannya untuk menduduki Gaza dalam jangka panjang semakin mungkin terjadi.

Menteri senior Israel juga telah menguraikan rencana untuk mengambil alih dan menguasai sebagian besar Tepi Barat yang diduduki melalui perluasan pemukiman. Pencaplokan wilayah ini berlangsung tanpa kendali. Israel mengonfirmasi rencana pada bulan Mei untuk membuat 22 pemukiman baru di sana, termasuk legalisasi pemukiman yang sudah dibangun tanpa otorisasi pemerintah.

Ini disertai dengan undang-undang provokatif, seperti rancangan undang-undang yang akan menaikkan pajak pada organisasi nonpemerintah yang didanai asing. Pemerintah Israel juga terus berusaha untuk mengurangi independensi kekuasaan yudikatif.

Kubu garis keras dalam kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan mereka akan menjatuhkan rezim ini jika Netanyahu mengubah arah kebijakan.

ICJ bergerak dengan cepat sebagai respons terhadap tindakan Israel di Gaza dan Tepi Barat. Pada Januari 2024, lembaga ini menemukan bukti bahwa warga Palestina di Gaza berisiko mengalami genosida dan memerintahkan Israel untuk menerapkan langkah-langkah sementara guna mencegah kerusakan lebih lanjut.

Kemudian, pada Mei 2024, ketika pasukan Israel melancarkan serangan, ICJ mengeluarkan putusan lain yang memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di kota Rafah di selatan Jalur Gaza. Ia juga menyerukan kepada Israel untuk memastikan akses kemanusiaan tidak terhalang masuk ke Jalur Gaza.

Lebih jauh lagi, ICJ pada bulan Juli mengeluarkan opini nasihat yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah ilegal. ICC mengambil tindakan berani dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan menteri pertahanannya Yoav Gallant, dan para pemimpin Hamas.

Namun, faktanya rentetan upaya untuk menegakkan hukum internasional tersebut gagal. Israel hanya setuju untuk gencatan senjata sementara di Gaza pada Januari 2025 ketika Washington mendesaknya. Ini menunjukkan bahwa satu-satunya rem yang mungkin untuk Israel tetaplah AS.

Apa hubungannya dengan kita, perempuan Indonesia?

Meski konflik ini jauh secara geografis, namun hal yang perlu dikatahui, ada dampak panjang yang membayangi kondisi yang memanas ini.

  1. Harga Minyak Naik, Biaya Hidup Ikut Mencekik
    Iran adalah salah satu produsen minyak utama dunia. Ketika konflik memanas, harga minyak dunia melonjak drastis. Hasilnya? Ongkos BBM, transportasi, dan harga kebutuhan pokok di pasar ikut naik.
    Yang terdampak paling awal? Dapur ibu-ibu.
  2. Keamanan Global Memburuk, Nasib Buruh Migran Terancam
    Ribuan buruh migran perempuan dari Indonesia bekerja di wilayah konflik, terutama di negara-negara Teluk seperti Arab Saudi dan UEA. Ketegangan geopolitik membuat mereka hidup dalam ketidakpastian.
    Ada yang tidak bisa pulang. Ada yang kehilangan pekerjaan. Ada pula yang hilang komunikasi.
  3. Perempuan dalam Perang Tak Pernah Jadi Prioritas
    Seperti di Palestina dan Suriah, perang selalu menempatkan perempuan sebagai korban: pengungsi, janda, korban kekerasan seksual, dan kehilangan akses pada layanan kesehatan dasar.
    Namun suara mereka jarang sekali masuk dalam meja perundingan internasional.

Gaungkan Kepedulian Perempuan

Pada dasarnya dan postulatnya memang demikian, perdamaian bukan hanya urusan militer dan presiden.
Sebagai perempuan, dan Perempuan di Indonesia, di Iran, dan di Gaza punya persoalan yang saling berkelindan: tentang hidup, tubuh, anak-anak, dan hak untuk merasa aman.
Solidaritas kita lintas benua dimulai dari kesadaran—bahwa perang tidak pernah netral terhadap gender.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top